Ketika Perhatian Tak Lagi Ada

Dalam keseharian, kita seringkali terlalu fokus pada diri sendiri sehingga tanpa sadar mengabaikan kehadiran orang lain di sekitar kita. Bahkan, ada kalanya kita tak menghargai perhatian dan usaha yang diberikan seseorang, seolah-olah kehadiran mereka adalah hal yang biasa saja, bahkan kewajiban. Namun, saat orang tersebut merasa lelah dan memilih untuk menjauh, barulah kita menyadari bahwa ternyata kehadirannya begitu berarti. Fenomena ini tidak jarang terjadi, terutama di kalangan dewasa ini yang seringkali lebih mengutamakan kenyamanan dan kepentingan pribadi tanpa berpikir panjang.

Dalam psikologi, fenomena ini bisa dikaitkan dengan konsep “Kebutuhan Ketergantungan” dalam perspektif psikologi humanistik. Menurut teori kebutuhan Abraham Maslow, manusia memiliki hirarki kebutuhan yang berjenjang, di mana salah satu tahapannya adalah kebutuhan untuk dicintai dan merasa memiliki. Ketika kita merasa perhatian orang lain selalu ada, tanpa disadari kita sering merasa ini adalah hal yang otomatis atau biasa. Namun, begitu perhatian itu hilang, kebutuhan untuk merasa dihargai dan dicintai tak lagi terpenuhi. Di sinilah muncul rasa kehilangan yang akhirnya mengingatkan kita akan pentingnya kehadiran orang tersebut.

Fenomena ini juga dapat dijelaskan melalui konsep “Social Exchange Theory” yang memperlihatkan bagaimana kita sering melihat hubungan sebagai transaksi timbal balik. Ketika kita merasa hubungan itu menguntungkan diri kita, kita cenderung tetap bertahan di dalamnya, namun saat perhatian dianggap “berlebihan” atau tidak lagi sesuai dengan ekspektasi kita, seringkali kita mengabaikannya. Ketika orang yang selalu ada tersebut berhenti memberikan perhatian, rasa kehilangan akan mulai terasa, karena kita tak lagi mendapat “keuntungan” emosional yang tadinya didapat tanpa usaha.

Dalam konteks pertemanan atau hubungan percintaan, fenomena ini sering kali terlihat jelas. Seseorang yang selalu hadir dan siap mendengarkan sering dianggap “tidak ke mana-mana.” Tapi ketika orang tersebut merasa tidak dihargai dan memutuskan untuk pergi, tiba-tiba muncul rasa rindu, kehilangan, dan penyesalan. Ini adalah bentuk dari “Hindsight Bias,” sebuah kecenderungan di mana kita baru menyadari nilai suatu hal setelah hal tersebut hilang.

Contoh sederhana yang mungkin pernah kita alami adalah saat memiliki teman yang selalu ada ketika kita butuh. Teman yang siap mendengarkan keluh kesah, memberi saran, dan hadir di kala susah. Namun, karena kebaikannya yang konstan, seringkali kita menganggap ini sebagai hal biasa. Hingga pada akhirnya, ketika dia merasa lelah, berhenti merespons, atau bahkan menjauh, barulah kita sadar betapa besarnya perannya dalam hidup kita.

Secara kasual, fenomena ini menunjukkan bahwa manusia seringkali memiliki sifat “kadaluarsa rasa syukur” – mudah melupakan apa yang kita miliki, namun merasa kehilangan saat itu hilang. Perasaan ini sangat wajar dan bahkan menjadi pelajaran bahwa menghargai kehadiran orang lain bukanlah sesuatu yang bisa kita tunda hingga semuanya terlambat. Ketika kita belajar untuk menghargai orang di sekitar kita saat mereka masih ada, kita secara otomatis menciptakan hubungan yang lebih tulus dan saling menghargai.

Jadi, buat kita yang mungkin pernah mengalaminya atau merasa sedang mengabaikan seseorang yang selalu ada untuk kita, mari berhenti sejenak dan coba pikirkan ulang: apakah kita benar-benar menghargai mereka, atau hanya sekadar menerima perhatian tanpa rasa terima kasih? Kadang, tidak perlu menunggu hingga mereka pergi baru kita menyadari betapa berharganya kehadiran mereka. Karena, pada akhirnya, perasaan terlambat menyadari nilai seseorang adalah salah satu bentuk penyesalan yang paling sulit disembuhkan.

Comments

Popular posts from this blog

Masihkah Bermental Inlander?

Refleksi dan Resolusi Tahun Baru 2025

Belajar Dari Negeri Tetangga