Masihkah Bermental Inlander?

Pernahkah anda mendengar istilah "inlander"? Banyak orang—tentunya orang Indonesia—yang menganggapnya sebagai penyakit mental yang paling banyak menjangkiti orang Indonesia. “Inlander” berasal dari Bahasa Belanda yang memiliki arti “pribumi” atau “masyarakat asli’. Dalam Bahasa Inggris, kata ini berpadanan makna dengan kata “native”. Istilah ini bertitik tolak dari masa penjajahan Belanda yang pada saat itu membagi strata masyarakat menjadi tiga kelompok, yaitu 1) Orang Eropa, yaitu orang Belanda, Inggris dan bangsa eropa lainya. Meskipun bukan bagian dari Eropa, bangsa Jepang tergolong dalam kasta ini, akibat pengaruh yang kuat dari Kekaisaran Jepang pada masa itu, 2) Orang Timur Asing (Vreemde Osterlingen) yaitu keturunan dataran Tiongkok, Jazirah Arab dan India yang dianggap sebagai bangsa pendatang, dan 3) Orang Pribumi atau Inlander, yaitu bangsa pribumi asli Indonesia. Inlander adalah strata yang paling rendah dari ketiga kasta di atas. Mungkin mereka menganggapnya selevel dengan Kasta Sudra atau Kasta Paria dalam sistem sosial dalam kepercayaan Hindu.

Masa penjajahan dan penderitaan sebagai “makhluk kelas bawah” yang dialami dalam kurun waktu ratusan tahun ini telah membentuk watak loser pada hampir sebagian besar penduduk Inonesia. Bahkan penyakit mental yang paling berbahaya ini pun secara “tanpa sengaja“ terwariskan hingga saat ini. Mental Inlander ini ditandai dengan hilangnya rasa kepercayaan diri untuk bersanding dan bersaing sebagai sebuah bangsa dengan bangsa lain, menganggap dan memandang bangsa lain jauh lebih hebat dan maju, sulit mengenali potensi diri yang besar, bahkan parahnya adalah sampai tega berpikiran picik untuk menyerahkan pengelolaan kekayaannya kepada bangsa lain karena menganggap bahwa bangsanya tak berkemampuan mengatur dan mengelolanya sendiri.

Dalam bentuk yang lebih modern, mental inlander terlihat dari kecenderungan membangga-banggakan apapun benda yang berasal dari luar negeri. Jam tangan dari Swiss, tas buatan Paris, atau sepatu bermerk dari Amerika. Seakan-akan, semua yang berasal dari luar negeri lebih berkualitas, branded, dan mampu mengangkat strata sosial si pemakainya. Maka tak jarang mereka tak segan untuk merogoh kocek dalam-dalam hanya demi mendapatkan barang made in luar negeri tersebut. Padahal jika dibandingkan, sepatu bermerk tadi tidak kalah kualitasnya dengan sepatu produksi Cibaduyut.

Dari sisi sosial budaya, fenomena ini juga semakin menggila menggejala di seluruh pelosok nusantara. Sebagai “mantan” bangsa yang terjajah, anak-anak bangsa Indonesia masih dengan begitu bangganya “terjajah” dalam gaya yang diadopsi dari luar, mulai dari emo, gothic, punk, dan kini yang teranyar muda-mudi Indonesia grandrung dengan “K-Pop”, seakan latah untuk ikut menggaungkannya sebagai simbol “gaul” dan “modern”. Jangan ditanya tentang kebudayaan kita; Tari Saman dari Aceh, berpakaian Teluk Belanga dari Tanah Melayu, Kesenian Sinden dari Jawa, sontak mereka akan berteriak “Kampungan!”

Sakit rasanya untuk mengatakan bahwa bangsa ini masih terjangkiti penyakit mental inlander, namun fakta yang ada di lapangan tak dapat dinafikan lagi pungkiri. Bangsa dengan populasi penduduk terbesar keempat di dunia ini hanya menjadi sasaran empuk produk asing, berbentu barang, jasa, dan budaya. Hal ini sangat memprihatinkan, sebab jika dibiarkan terus menerus Indonesia benar-benar akan menjadi bangsa buruh pemasok pekerja bergaji rendah. Parahnya, bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi bangsa bermental budak di zaman modern.

Maka pembenahan akan hal ini harus dimulai dengan penyadaran melalui pendidikan yang mencerahkan para pemimpin dan rakyatnya. Harus ada upaya agar generasi muda mampu menemukan jati dirinya sebagai bangsa yang Pancasilais. Peninggalan-peninggalan sejarah yang masih tersisa saat ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dengan kekayaan budaya yang tidak dimiliki oleh satupun bangsa lain di dunia. Beberapa pertandingan juga telah membuktikan bahwa Indonesia adalah rival yang diperhitungkan dalam laga berskala dunia. Ayo, bangga menjadi bangsa Indonesia! Masih mau bermental inlander?

Comments

Popular posts from this blog

Refleksi dan Resolusi Tahun Baru 2025

Belajar Dari Negeri Tetangga