Belajar Dari Negeri Tetangga
Sebagai negara yang tergolong memiliki daerah yang luas, Indonesia memiliki beberapa negara tetangga, di antaranya Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Selain itu, Indonesia berbatasan pula dengan Australia, Papua Nugini, dan Timor Leste—sebuah negara yang dulunya pernah menjadi bagian dari Indonesia. Dari beberapa nama negara tetangga tersebut, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam begitu menarik untuk diamati. Hal ini dikarenakan selain negara tersebut bertetangga, ketiganya memiliki kekerabatan yang sangat dekat dengan Indonesia, baik secara budaya maupun bahasa. Meskipun memiliki kosakata yang khas, namun secara garis besar bahasa masing-masing negara tersebut masih dapat dimengerti oleh negara yang lain.
![]() |
sumber: www.kryptomoney.com/securities-commission-of-malaysia-might-soon-bring-upon-a-regulated-crypto-framework/ |
Akan tetapi berbeda halnya dengan masalah ekonomi, sampai saat ini Indonesia masih belum seberuntung ketiga negara tersebut. Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam kini menjadi negara yang sudah maju dengan pesat. Padahal kalau kita tilik dari sisi sejarah, Indonesia adalah negara yang paling pertama merdeka, disusul kemudian Malaysia, Singapura, dan terakhir Brunei Darussalam. Tentunya dalam asumsi sederhana, negara yang terlebih dahulu merdeka tentu memilliki kesempatan untuk lebih dahulu menjadi negara maju. Kenyataannya kemajuan sebuah negara bukanlah merupakan deretan bilangan yang mampu diprediksi dengan hitung-hitungan logika matematis yang sederhana, tetapi ada banyak variabel lainnya yang saling melengkapi dan berhubungan yang kesemuanya itu memberikan andil demi kemajuan negara tersebut. Asumsi-asumsi ini, menyeret saya untuk mengamati apa yang harus kita pelajari, terutama Malaysia, sebuah negara yang dahulunya banyak belajar dari Indonesia dengan mendatangkan begitu banyak guru ke negaranya. Tentu pengamatan saya bukanlah dengan membandingkan angka-angka statistik atau hitung-hitungan ekonomi dari kedua negara tersebut tapi lebih kepada mengamati kebiasaan orang-orang di sana berdasarkan pengalaman yang pernah saya rasakan.
Kuala Lumpur menjadi tempat pertama sekali saya menginjakkan kaki, sebuah daerah yang terhitung kecil untuk ukuran sebuah ibukota negara. Bandingkan saja, Jakarta memiliki luas daerah sebesar 661,52 km2, sementara Kuala Lumpur hanya memiliki luas sebesar 243,65 km2. Bahkan sedikit lebih kecil dibandingkan Kota Medan yang luasnya mencapai 265,10 km2. Tetapi sesampai di sana, kita akan disuguhkan dengan infrasruktur transportasi dan jalan raya yang menurut pribadi saya amat berbeda keadaannya dengan negara kita. Badan jalan yang luas menjadi pemandangan yang biasa. Dan tidak berlebihan rasanya jika kita katakan sulit untuk menemukan jalanan yang berlubang di sana.
Kemacetan juga jarang sekali terjadi, padahal hampir semua keluarga di kota itu memiliki mobil pribadi. Bahkan apabila dihitung secara statistik, masing-masing keluarga memiliki mobil minimal sebanyak 2 unit. Sangat berbeda keadaannya bila dibandingkan dengan kota-kota sibuk yang ada di Indonesia. Kemacetan menjadi hal yang sangat “lumrah” didapati. Saya pun menjadi penasaran dengan keadaan ini. Lebih dalam saya mengamati “mengapa hal kemacetan jarang terjadi di sini?”
Setelah saya amati, selain faktor sarana transportasi umum yang sudah sangat memadai, etika berkendara di jalan raya menjadi salah satu yang sangat menentukan. Sebagai contoh, saat lampu merah menyala, semua kendaraan patuh untuk berhenti, bahkan ketika tengah malam sekalipun. Di sana tidak ada yang senekad pengendara di Indonesia yang berani menerobos saat lampu merah. Saat antri di lampu merah, setiap mobil menjaga jarak satu sama lainnya, sekitaran setengah hingga satu meter. “Sedikit” jauh berbeda dengan suasana lalu lintas di beberapa kota yang pengendaranya tega mengambil trotoar dan area pertokoan sebagai shortcutnya.
Penasaran yang saya rasakan membimbing saya mengamati alasan utama mengapa mereka lebih taat dengan peraturan berlalu lintas. Akhirnya pertanyaan itu terjawab setelah berulang-ulang kali saya melihat papan peringatan terhadap pelanggaran aturan lalu lintas berikut dengan dendanya hamper di semua badan jalan. Dan tidak tanggung-tanggung, berhenti di sembarang tempat dibanderol dengan denda RM300-600. Untuk pelanggaran yang besar, bisa dihargai sampai RM3000. Sepadan untuk memberikan efek jera.
Saya juga berkesempatan merasakan sensasi razia lalu lintas itu secara langsung di sana. Bermula dari “ngidam”nya seorang teman yang ingin berfoto di bawah gemerlap cahaya Twin Tower di malam hari, padahal jam sudah menunjukkan angka 12. Kami menyetop sebuah taksi dan bergegas ke sana untuk memburu waktu, karena berbeda dengan kota-kota besar di Indonesia, Kuala Lumpur sepertinya tidak menganut sistem kota 24 jam. Walaupun sebuah ibukota negara, tampilan kota yang padat di siang hari berubah menjadi sangat sunyi, padahal jam masih bertengger di angka 9 malam. Setelah puas berfoto sampai lampu menara dipadamkan, kami pun segera pulang. Kembali kami menyetop taksi dan tawar menawar pun terjadi. Supir taksi yang berkebangsaan India ini menolak saat kami menawar harganya. Dia beralasan kalau membawa kami berlima itu beresiko. Di sini, penumpang maksimum yang diizinkan dibatasi 4 orang saja. Dia menjelaskan kalau tertangkap saat razia, lisensinya sebagai supir taksi terancam dicabut. Akhirnya, kami menyetujui harganya dan taksi pun melaju.
Tak beberapa jauh, hanya sekitar 2 kilometer dari tempat kami naik, polisi pun menghadang di depan. Dengan sangat terpaksa, 2 orang teman saya harus rela turun dan berjalan sekitar setengah kilo meter melewati razia polisi. Bukan mulus begitu saja, polisi tadi tetap saja menghadang dan menyuruh sang supir berikut dengan kami semua untuk keluar. Polisi menjelaskan bahwa membawa 5 orang penumpang adalah pelanggaran, supir pun dengan cara memelas memohon untuk dilepaskan dengan alasan bahwa kami pelancong yang tidak mau berpisah dari kawan-kawannya karena malam hari. Mendengar kami sebagai pelancong, polisi meminta kami menunjukkan paspor. Celakanya, paspor saya tertinggal di hotel karena memang mulanya saya tidak berniat kemana-mana. Bersyukur, dua teman saya membawa paspor dan mengaku bahwa saya adalah saudara laki-laki mereka yang mereka ajak untuk menemani keluar sebentar. Di dukung dengan tampilan saya yang hanya bercelana pendek, dia pun memaklumi. Setelah dicecari beberapa pertanyaan, termasuk pertanyaan tentang tujuan kami ke negara itu, akhirnya kami dilepaskan. Si supir pun bisa terbebas dari hukuman.
Pengalaman yang saya rasakan ini menunjukkan betapa keinginan mereka menegakkan peraturan dengan sebaik-baiknya, walaupun mungkin tetap ada saja beberapa oknum yang memanfaatkan penegakan hukum sebagai alat memperkaya diri. Terlepas dari itu, saya patut memberikan apresiasi yang tinggi dan kita perlu mencontohnya. Walaupun dulu Indonesia pernah menjadi guru bagi negara ini, setidaknya saatnya kini kita harus berani mengakui kalau kita perlu belajar kembali kepada “muridnya” dulu. Tak perlu malu untuk mengambil sisi-sisi positif untuk membangun bangsa yang besar ini demi negara yang maju dan sejahtera di masa mendatang.
Comments
Post a Comment