Awas, Keranjingan Internet!

Seperti biasa, ketika sedang tidak memiliki tugas atau pekerjaan di malam hari, saya menghabiskan waktu untuk duduk-duduk dan bercengkerama dengan orang-orang yang dikenal—termasuk yang baru saya kenal—di salah satu kafe dengan konsep alam terbuka di kota kelahiran saya. Sambil mengayukan jemari di atas keyboard notebook yang menyala di hadapan saya, sesekali mata ini awas ke sekeliling sejauh jangkauan pandangan. Terlihat pemandangan yang nyaris sama, semua orang sibuk mengotak-atik piranti komunikasi dan teknologi yang ada di genggamannya masing-masing, mulai dari berchatting ria dengan teman dunia mayanya melalui messenger, menyaksikan koleksi video di Youtube, mendengarkan lagu dengan Soundcloud, Joox, dan sebangsanya, berselfie dan berposting ria dengan foto-foto pribadi yang sebelumnya sudah dipoles dengan aplikasi Camera360 atau B612, sampai kepada orang-orang yang hanya stalking dan sesekali melemparkan like, share, atau sebait komentar.
http://bgr.com/2016/11/02/internet-usage-desktop-vs-mobile/
Memang tidak bisa dielakkan lagi, kita semua sudah memasuki era teknologi informasi, babak kehidupan di mana seseorang kini dengan sangat mudah dapat mengakses internet. Cukup dengan merogoh kocek seharga segelas teh manis dingin, kita sudah dengan bebas berselancar di dunia virtual. Bahkan tak jarang, area free wifi pun disediakan demi mewujudkan kemudahan ini. Akhirnya semua keranjingan dengan internet. Betapa tidak, “makhluk” yang satu ini dengan begitu mudahnya mampu mewujudkan dan menghadirkan apapun yang diinginkan oleh “majikannya”. Dulu ketika ingin membeli sesuatu, orang harus repot-repot keluar rumah untuk pergi berbelanja. Kini, cukup dengan beberapa sentuhan tangan, dan klik, barang yang diinginkan  akan tiba sesuai dengan keinginan kita.
Selain itu, internet juga membantu seseorang untuk dapat  mengakses informasi dan ilmu  pengetahuan yang teranyar, bak kue matang yang baru keluar dari panggangannya. Orang bisa tahu dan belajar apa saja serta dimana saja. Dengan dibantu oleh Google, perusahaan search engine terakbar saat ini, cukup hanya dengan menuliskan beberapa kata, maka berjuta informasi yang dibutuhkan tadi terpampang bak barang dagangan yang ditampilkan di dalam showcase.
Kemudahan-kemudahan ini bukan tidak menimbulkan efek negatif. Lihat saja, ketika berkumpul dan bercengkerama, orang-orang  hanya disibukkan dengan smartphone yang ada di tangannya. Sesekali hanya melemparkan senyuman dengan orang-orang yang ada di sekitarnya namun kemudian kembali tenggelam dalam lautan dunia maya. Bahkan hal ini juga terjadi ketika sedang melakukan reuni, sebuah kegiatan yang dibuat dalam rangka mengikat kembali silaturrahim yang sudah mulai renggang.
Pemandangan seperti ini seakan menjadi hal yang amat biasa. Di dalam rumah, ayah, ibu dan anak-anaknya duduk bersama namun masing-masing menatap layar kecil di dalam genggamannya. Tak jarang ketika diajak berbicara, hanya respon-respon singkat saja yang diberikan. Malah, responnya  sering tidak nyambung.
Fenomena ini membuat manusia kini enggan untuk melakukan kontak secara fisik. Orang-orang kini cenderung menghindari komunikasi interpersonal secara langsung. Hal ini terbukti ketika seseorang ingin menjemput temannya di rumah, ia lebih suka mengontaknya via teks atau telepon singkat dan menyuruh temannya untuk keluar ketimbang memilih untuk mengetuk pintu, bertemu dengan orang tuanya dan meminta izin.
Ketika hal ini diteruskan tanpa ada upaya untuk mencegahnya, maka fenomena ini akan menjadi permasalahan sosial yang serius. Kebiasaan ini akan mengubah tatanan sosial yang menyebabkan manusia menjadi pribadi yang sangat hangat dan bersahabat ketika di dunia maya namun terlihat sebagai makhluk antisosial ketika bersosialisasi secara langsung. Orang-orang akan menjadi pribadi yang senang dengan hal yang instan, menjadi malas bergerak dan berpikir karena kemudahan yang ditawarkan oleh internet. Bahkan, yang paling menakutkan adalah ketika internet menjadikan manusia memiliki kelainan kepribadian. Kasus yang pernah saya temukan ialah remaja yang riang gembira ketika postingannya—status atau foto—diberikan banyak like dan comment, kemudian berubah menjadi murung dan sedih ketika harapannya itu tidak terwujud. Tentu kasus ini seakan menjadi warning buat kita semua bahwa keranjingan internet ini sekarang telah mengancam tatanan sosial kita.
Kita sadari bersama bahwa internet mulanya memang diciptakan untuk memberikan kemudahan hidup buat manusia, namun hal ini perlu disertai dengan kesadaran bahwa manusia sejatinya adalah makhluk sosial yang butuh bercengkerama dan bersosialisasi secara nyata dengan komunitasnya. Kehangatan yang diberikan ketika berkomunikasi melalui sosial media tidak akan pernah bisa menggantikan kehangatan yang timbul ketika berbicara dan bertatap muka dengan orang-orang yang ada disekitar kita. Kita membutuhka mereka dan mereka membutuhkan kita sebagai manusia seutuhnya, manusia yang hadir jiwa raganya bersama kita, bukan manusia yang bercasing smartphone. Ayo sekarang bangkit, berhentilah membaca tulisan ini. Segera tutup smartphonemu, tutup laptopmu! Temui dan sapalah orang-orang yang ada di sekitarmu.

Comments

Popular posts from this blog

Masihkah Bermental Inlander?

Refleksi dan Resolusi Tahun Baru 2025

Belajar Dari Negeri Tetangga