Sentuhan Awal yang Menentukan: Kehadiran Orang Tua di Hari Pertama Sekolah sebagai Investasi Psikologis

Esok hari, Senin 14 Juli 2025, sekolah-sekolah di Indonesia akan kembali ramai, terutama oleh wajah-wajah baru yang masih mungil dan mungkin penuh tanda tanya. Hari pertama sekolah bukan sekadar ritual administratif; ia adalah momen transisi psikologis yang signifikan bagi seorang anak. Artikel ini bertujuan untuk mengajak para orang tua untuk melihat momen ini bukan hanya sebagai tugas, tetapi sebagai amal tarbawi (amal pendidikan) yang mendalam. Kehadiran fisik dan emosional orang tua di hari pertama bukanlah kemewahan, melainkan kebutuhan psikologis mendasar yang dampaknya akan terasa panjang.

Ilustrasi: moneter.co.id

Secara psikologis, hari pertama sekolah adalah medan yang sarat dengan potensi stres bagi anak. Mereka dihadapkan pada lingkungan yang sama sekali asing: ruang kelas baru, guru baru, teman-teman baru, rutinitas baru, dan perpisahan sementara dari figur keamanan utama (orang tua). Menurut teori attachment (kelekatan) yang dikemukakan oleh John Bowlby dan Mary Ainsworth, anak membutuhkan figur kelekatan yang aman (secure base) untuk mengeksplorasi dunia. Kehadiran orang tua yang penuh dukungan pada hari pertama berfungsi sebagai secure base yang nyata. Ketika anak melihat orang tua tenang, tersenyum, dan menunjukkan bahwa lingkungan sekolah itu "aman", ia akan lebih mudah menginternalisasi rasa aman tersebut. Penelitian klasik Ainsworth dalam strange situation menunjukkan bahwa anak dengan kelekatan aman lebih mampu menjelajahi lingkungan baru dan mengatasi stres separasi karena mereka percaya figur kelekatannya akan ada saat dibutuhkan (Ainsworth, Blehar, Waters, & Wall, 1978). Hari pertama sekolah adalah strange situation dalam skala besar, dan orang tua adalah jangkar keamanannya.

Proses penting lainnya adalah social referencing. Anak-anak, terutama usia dini, sering kali mencari petunjuk emosional dari orang tua mereka untuk memahami situasi yang ambigu atau berpotensi mengancam. Ketika memasuki gerbang sekolah yang ramai dan asing, anak akan secara alami menengok kepada orang tuanya. Ekspresi wajah, nada suara, dan bahasa tubuh orang tua menjadi peta emosional baginya. Jika orang tua tampak cemas, tergesa-gesa, atau tidak peduli, anak akan menafsirkan lingkungan sekolah sebagai sesuatu yang menakutkan atau tidak menyenangkan. Sebaliknya, senyum yang meyakinkan, pelukan hangat, dan kata-kata penuh keyakinan dari orang tua seperti mengatakan, "Lihat, tempat ini baik. Kamu bisa melakukannya." Feinman (1992) dalam kajiannya tentang social referencing menegaskan bahwa anak menggunakan informasi emosional dari pengasuh mereka untuk membentuk respons mereka terhadap situasi baru yang tidak pasti. Orang tua yang mendampingi secara aktif memberikan referensi emosional yang positif dan meyakinkan.

Lebih lanjut, dari perspektif Psikologi Islam, mendampingi anak di momen krusial seperti ini adalah bagian integral dari tarbiyatul awlad (pendidikan anak) dan pemenuhan amanah (titipan) dari Allah Swt. Anak adalah amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh-Nya. Dalam QS. At-Tahrim ayat 6, Allah memerintahkan, "Wahai orang-orang yang beriman! Lindungilah dirimu dan keluargamu dari api neraka...". Perlindungan tidak hanya bersifat fisik atau spiritual semata, tetapi juga psikologis. Menyediakan dukungan emosional untuk menghadapi transisi besar seperti hari pertama sekolah adalah bentuk perlindungan dari "api" kecemasan dan ketakutan yang bisa membekas dalam jiwa anak. Hadis Nabi SAW juga menekankan pentingnya kasih sayang dan perhatian kepada anak, di mana sikap mendampingi ini adalah manifestasi nyata dari rahmah (kasih sayang) yang diajarkan Rasulullah.

Dampak jangka panjang dari pendampingan yang baik di hari pertama ini sangat nyata. Pengalaman awal yang positif dapat membentuk persepsi anak terhadap sekolah dan belajar secara keseluruhan. Ia membangun asosiasi awal bahwa sekolah adalah tempat yang menyenangkan, aman, dan didukung. Ini menjadi fondasi bagi motivasi intrinsiknya untuk belajar dan bersosialisasi. Sebaliknya, pengalaman pertama yang traumatis atau penuh kecemasan karena merasa "ditinggalkan" atau tidak didukung dapat menimbulkan keengganan sekolah (school refusal), meningkatkan kecemasan berpisah (separation anxiety), dan bahkan memengaruhi konsep diri anak. Penelitian Pianta dan Kraft-Sayre (2003) menunjukkan bahwa transisi yang sukses ke sekolah, yang seringkali dimediasi oleh dukungan positif orang tua, terkait erat dengan penyesuaian sosial dan akademik yang lebih baik di kemudian hari. Kehadiran orang tua pada hari pertama adalah "kapsul" pertama kepercayaan diri anak dalam perjalanan panjang pendidikannya.

Oleh karena itu, saya ingin mengimbau dengan penuh kesadaran: jangan anggap remeh esok pagi. Luangkan waktu, hadir secara fisik dan emosional. Berjalanlah bersama anak hingga ke depan kelas, berkenalanlah dengan wali kelas dengan ramah, tunjukkan antusiasme Anda terhadap lingkungan barunya. Pelukan erat dan kata-kata penuh keyakinan sebelum berpamitan adalah "vaksinasi emosional" yang berharga. Bagi sekolah, ciptakan suasana yang hangat dan menerima, fasilitasi interaksi positif antara orang tua, anak, dan guru di hari pertama. Kolaborasi ini bukan hanya urusan seremonial; ini adalah investasi kolektif untuk kesehatan psikologis dan keberhasilan pendidikan generasi penerus kita. Mari jadikan hari pertama sekolah bukan sekadar hari pertama, tetapi awal yang indah dan penuh keyakinan dalam lembaran kisah belajar mereka, sesuai dengan tuntunan Islam yang memuliakan ilmu dan memerintahkan kasih sayang dalam pendidikan. Kehadiran Anda pagi esok adalah sedekah jiwa yang nilainya tak terkira bagi masa depan anak.

Comments

Popular posts from this blog

Gajah di Pelupuk Mata Tak Tampak, Semut di Seberang Lautan Tampak

Refleksi dan Resolusi Tahun Baru 2025

Meredefinisi Reward dan Punishment dalam Dunia Pendidikan