Pendidikan dan Esensi Kasih Sayang
Seperti hari-hari biasanya di bulan Ramadhan, saya menghabiskan waktu sore dengan cara menyusuri jalanan kota kelahiran saya, Langsa. Sedang asyik menikmati suasana sembari duduk mengendarai sepeda motor saya, saya dikejutkan dengan mobil-mobil yang terjebak dalam kesemberawutan dan saling beradu membunyikan klakson. Sejurus kemudian, sebuah mobil sedan abu-abu berukuran sedang menerobos masuk di sela-sela kemacetan itu. Nyaris saja, sedan itu menendang penjual es cendol yang sedang parkir di sisi kanan jalan. Akibat ulahnya tersebut, semua mata tertuju ke arah si pengendara mobil. Sontak masyarakat terkejut dan berang melihat bahwa yang mengendarai mobil adalah seorang anak perempuan berusia sekolah dasar, ditemani oleh sang ayah yang duduk di samping kiri. Seolah merasa benar, sang ayah malah melemparkan raut wajah yang garang sembari mengepalkan tangan, menantang orang-orang yang memandangi anaknya.
Dalam kajian psikologi, perilaku yang ditunjukkan oleh orangtua di atas disebut dengan agresivitas. Medinnus dan Johnson (1976) secara sederhana mendefinisikannya sebagai bentuk perilaku menyerang, baik itu menyerang secara fisik maupun verbal, serta melakukan pelanggaran terhadap hak milik atau menyerang daerah orang lain. Lebih lanjut dikemukakan bahwa tindakan tersebut bermaksud untuk merugikan atau menyakiti orang lain. Sementara ahli lain menyatakan bahwa agresivitas bisa saja dilakukan tanpa maksud dan tujuan tertentu. Dalam kasus contoh di atas, sang ayah mencoba untuk melakukan pelanggaran terhadap hak pengguna jalan lainnya kemudian melakukan hal yang oleh Freud diistilahkan dengan "Defense Mechanism", yaitu strategi pertahanan untuk melawan desakan dan menentang realitas eksternal yang ada, dengan cara menunjukkan kekuatannya untuk membela kesalahan yang dilakukan oleh putrinya.
Perilaku agresif dan perlawanan yang dilakukan oleh orangtua di atas-menurut pandang saya-merupan bentuk luapan kasih sayang dan perlindungan orang tua terhadap anaknya. Namun tak disadari, orang tua telah memberikan pelajaran terhadap anak dengan menunjukkan perilaku yang buruk. Kesalahan yang dilakukan oleh anak dengan mengabaikan hak-hak pengguna jalan lain malah mendapatkan penguatan (reinforcement) yang positif dari orang tua. Padahal oleh Skinner dikatakan bahwa perilaku yang mendapatkan penguatan positif justru meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laku. Ditambah lagi bahwa figur yang memberikan penguatan adalah seseorang yang memiliki otoritas serta memiliki kedekatan emosional dengan sang anak. Akibat yang fatal adalah kecenderungan untuk mengabaikan hak-hak orang lain semakin meningkat sehingga anak kian jauh dari rasa bersalah ketika melakukan hal-hal yang tidak terpuji. Bisa dibayangkan, apa yang akan terjadi dengan bangsa ini di masa yang akan datang bila negeri ini dipenuhi oleh generasi-generasi beragresivitas tinggi.
Mendidik anak memang bukanlah perkara yang mudah. Maka, wajar apabila ada ungkapan bahwa “butuh masyarakat sekampung hanya untuk membesarkan seorang anak.” Seorang anak yang lahir dan didik dalam lingkungan keluarga yang kondusif saja bisa terkontaminasi dengan patologi sosial yang berkembang di lingkungannya, apalagi anak yang tumbuh kembang dalam lingkungan keluarga yang kacau. Para orangtua mungkin saja tidak sadar telah memberikan pendidikan dengan standar ganda kepada anak-anaknya. Dalam petuahnya, orangtua mengajarkan perilaku-perilaku yang mulia, seperti menghormati orang yang lebih tua, berkata jujur, dan sebagainya, namun dalam tingkah laku di kesehariannya justru orangtua memberikan contoh yang bertolak belakang. Tentu anak-anak akan lebih mudah menangkap nilai-nilai yang diajarkan melalui tindakan ketimbang seabreg pelajaran yang disampaikan oleh orangtua melalui nasihat-nasihatnya yang abstrak.
![]() |
https://chrisantosinatra.blogspot.co.id/2017/01/kasih-sayang.html |
Juga tanpa disadari, sering sekali orangtua berdalih bahwa memberikan fasilitas hidup yang layak kepada anak adalah salah satu bentuk kasih sayang orangtua. Orangtua berharap dengan fasilitas yang ia miliki akan mampu menjamin kenyamanan hidup anak-anaknya kelak. Namun mereka sering lupa, selain membangun jaminan atas kenyamanan masa depan anak-anaknya, orangtua perlu melatih kemampuan mereka untuk bertahan hidup (survival skills), termasuk kemampuan untuk hidup bersosial dengan menghargai setiap hak serta bertanggung jawab atas apapun yang dikerjakannya, sehingga anak akan siap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi di masa mendatang.
Menjadi orangtua adalah “profesi” yang sulit. Namun sayangnya tidak ada satu pun perguruan tinggi yang mengajari kode etik profesi ini secara khusus. Implikasinya, masing-masing orangtua berimprovisasi dalam mendidik anak sesuai selera dan apa yang menurut dirinya baik, yang terkadang sering bersifat subjektif. Kenyataan ini justru menuntut orangtua menjadi individu pembelajar dan senantiasa mengoreksi kesalahan yang telah dilakukan selama ini. Mari belajar menjadi orangtua, yang bukan hanya memberikan contoh yang baik bagi anaknya sendiri tetapi juga mampu menjadi contoh teladan bagi anak orang lain, karena peradaban sebuah negeri berawal dari bilik-bilik kecil di dalam rumah. Tentu saja dengan menurunkan agresivitas diri dan menghargai hak-hak orang lain.
Comments
Post a Comment