Membuka Jendela Dunia
Banyak orang menyebutkan bahwa buku adalah jendela dunia. Buku dapat mengantarkan si pembaca untuk membuka wawasannya. Tak hanya informasi di dalam negeri, namun juga informasi tentang dunia luar, bahkan alam semesta ini. Singkatnya, semakin banyak yang kita baca, semakin banyak informasi yang dapat kita dapatkan, walaupun terkadang informasi tersebut didapatkan dengan cara yang tidak langsung.
Namun sayangnya di era ini, sulit rasanya untuk menemukan pelajar yang secara sadar memiliki kegemarab membaca. Kebanyakan mereka malah lebih memilih untuk menjajal konsol game baru, berselancar di internet, atau sekedar jalan-jalan bersama teman yang terkadang tak jelas arah tujuannya. Memang masih ada juga sebagian dari mereka yang gemar mengoleksi dan membaca novel dan komik. Hal ini tidak menjadi masalah selagi mereka masih mampu memanfaatkan waktu mereka dengan belajar atau membaca buku yang lebih informatif. Namun kenyataannya minat baca remaja kini amatlah rendah. Padahal, besar manfaat yang dapat diperoleh dari kegiatan membaca ini.
![]() |
https://www.hitsss.com/5-buku-indonesia-terfavorit-sepanjang-masa-yang-wajib-kamu-baca/ |
Harus disadari secara umum budaya membaca di Indonesia masih memprihatinkan. Hasil survei dari salah satu perguruan tinggi di Amerika Serikat telah menempatkan Indonesia berada dalam urutan ke-60 dari 61 negara yang disurvei. Ya, urutan dua dari belakang! Indonesia hanya satu level lebih baik dari Botswana, sebuah negara miskin di benua Afrika. Survei tersebut memposisikan Finlandia, Norwegia, Islandia, Denmark, dan Swedia sebagai lima negara dengan level literasi terbaik di dunia. Padahal, ketika ditinjau dari sisi infrastuktur penunjang membaca, peringkat Indonesia berada di atas beberapa negara Uni Eropa. Penilaian berdasarkan infrastruktur ini menempatkan Indonesia pada urutan 34 di atas negara Jerman, Portugal, Selandia Baru dan Korea Selatan.
Hasil survei tersebut tidak berbeda jauh dengan hasil sensus yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006 yang menunjukkan bahwa 85,9% masyarakat Indonesia lebih memilih menonton televisi daripada mendengarkan radio (40,3%) dan membaca surat kabar (23,5%). Lebih lanjut, minat baca masyarakat yang berusia di atas 15 tahun menunjukkan 55% masyarakat lebih tertarik untuk membaca koran, 29% membaca majalah, 16% membaca buku cerita, dan 44% membaca buku teks pelajaran sekolah. Sementara jumlah masyarakat dalam rentang usia 15 hingga 59 tahun yang buta aksara masih tergolong tinggi, sekitar 5,9 juta atau 3,70% dari 81 juta orang. Anehnya, nilai riset pada Program for Internasional Student Assesment (PISA) Indonesia mendapatkan nilai rata-rata 493, sementara tingkat literasi Indonesia hanya bertengger pada nilai 396.
Hasil survei tersebut tidak berbeda jauh dengan hasil sensus yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006 yang menunjukkan bahwa 85,9% masyarakat Indonesia lebih memilih menonton televisi daripada mendengarkan radio (40,3%) dan membaca surat kabar (23,5%). Lebih lanjut, minat baca masyarakat yang berusia di atas 15 tahun menunjukkan 55% masyarakat lebih tertarik untuk membaca koran, 29% membaca majalah, 16% membaca buku cerita, dan 44% membaca buku teks pelajaran sekolah. Sementara jumlah masyarakat dalam rentang usia 15 hingga 59 tahun yang buta aksara masih tergolong tinggi, sekitar 5,9 juta atau 3,70% dari 81 juta orang. Anehnya, nilai riset pada Program for Internasional Student Assesment (PISA) Indonesia mendapatkan nilai rata-rata 493, sementara tingkat literasi Indonesia hanya bertengger pada nilai 396.
Data ini didukung pula oleh laporan statistik dari UNESCO pada tahun 2012. Laporan tersebut menyatakan, indeks minat baca di Indonesia hanya mencapai 0,001. Artinya, dari setiap 1.000 orang penduduk Indonesia, hanya satu orang saja yang memiliki minat baca. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan jika dibandingkan dengan budaya baca di kalangan pelajar di negara-negara lain. Disebutkan bahwa rata-rata lulusan SMA di Jerman telah membaca 32 judul buku, di Belanda sebanyak 30 buku, Rusia 12 buku, Jepang 15 buku, Brunei Darussalam 7 buku, Singapura 6 buku, dan Malaysia 6 buku. Bagaimana dengan Indonesia? Tak ada satupun laporan yang berani menyebutkannya walaupun hanya dengan 1 buku pun! Generani Indonesia adalah generasi yang lumpuh membaca.
Keluhan ini tidak bisa disimpulkan sebagai kelalaian guru di sekolah semata, namun harus dikembalikan lagi pada pembiasaan membaca ketika masih kecil, terutama di lingkungan rumah. Peranan orangtua lah yang lebih mendominasi pembentukan kebiasaan membaca pada anak. Bagaimana mungkin ada seorang anak yang bisa memiliki kebiasan membaca yang tinggi sementara orang tuanya risih mencontohkan dan enggan mengarahkan anaknya agar terbiasa membaca. Karena seseorang akan lebih mudah tertarik dan termotivasi untuk melakukan sesuatu jika dibarengi dengan keteladanan, bukan hanya sekedar teori atau memberi instruksi belaka. Ketika anak sudah menginjak usia sekolah baru lah guru yang memegang peran dalam mengembangkan minat baca agar dapat dibentuk menjadi kebiasaan. Dengan begitu, orang tua dan guru memiliki peran yang sama pentingnya dalam membentuk serta meningkatkan kebiasaan membaca sang anak.
Bagi anda yang termotivasi untuk memiliki kebiasaan membaca atau orang tua dan guru yang ingin membentuk kebiasaan membaca siswa, Guthrie dan Coddington (2009) menyatakan beberapa hal yang perlu diperhatikan , yaitu:
1. Perceived Autonomy
Secara konseptual, perceived autonomy didefinisikan sebagai kemampuan diri untuk mampu memilih atau menentukan pilihannya berdasarkan keinginan dan pertimbangannya sendiri. Rasa kemandirian dalam membaca mengacu pada kebebasan seorang anak untuk memilih jenis buku atau genre yang diinginkannya serta kemerdekaannya dalam memilihi cara atau perilakunya dalam membaca. Kebebasan dalam dua hal ini dapat meningkatkan mood dari anak untuk membaca. Artinya, untuk memulai kebiasaan membaca, maka pilihlah jenis atau judul buku yang paling disenangi dan eksplorasi tempat dan gaya membaca yang membuat diri nyaman menyelesaikan lembar demi lembar buku tersebut
2. Self-Efficacy
Dalam teori sosial kognitif, self-efficacy diartikan sebagai keyakinan akan kemampuan individu untuk belajar atau melaksanakan suatu tindakan pada tingkatan tertentu. Self-efficacy dalam membaca merujuk pada keyakinan seseorang yang berhubungan dengan kemampuan dan keahliannya dalam membaca. Seorang pembaca yang memiliki efficacy yang tinggi yakin akan mampu menyelesaikan tebalnya buku yang ia baca dengan baik dan berkeinginan untuk mencoba bacaan yang lebih menantang.
3. Task Mastery Goal
Task mastery goal adalah keinginan untuk meningkatkan kemampuan dalam menguasai suatu keahlian tertentu atau keinginan untuk memahami suatu pelajaran. Seseorang yang berorientasi pada keinginan untuk menguasai sesuatu akan tekun dalam membaca, karena mereka memiliki gairah untuk menguasai hal tersebut dan memperoleh pemahaman dan pengetahuan yang lebih dalam. Sederhananya, ketika seseorang telah memiliki sebuah keinginan dan cita-cita yang jelas, maka ia akan mampu berlama-lama untuk membaca buku yang mendukung keinginan atau cita-citanya itu. Maka, mulailah membaca dengan menuliskan impian
4. Performance Goal
Performance Goal adalah perhatian seseorang terhadap kemampuan dan prestasinya di hadapan orang lain. Motivasi ini dapat digolongkan sebagai motivasi ekstrinsik untuk meraih prestasi dalam membaca dengan berkompetisi. Semakin besar jiwa kompetisi dan keinginan untuk berprestasi, maka semakin besar kekuatan untuk menikmati bahan bacaannya tersebut.
5. Social Motivation
Social Motivation (motivasi sosial) berhubungan dengan ketersediaannya orang lain yang bertindak sebagai sandaran, memungkinkan orang untuk menunjukkan kebergantungannya, semangat, keuletan dalam menghadapi rintangan. Dukungan sosial ini dapat mendukung kegigihan ketika menghadapi keadaan yang tidak menyenangkan (mood berubah atau sedang tidak memiliki semangat). Maka dengan membentuk atau bergabung dengan perkumpulan pecinta membaca akan dengan sangat mudah menularkan kembali semangat membaca yang sedang menurun.
6. Value in Reading
Value (nilai) dalam hal ini berkaitan erat dengan dampak (makna dan manfaat) yang dirasakan oleh seseorang ketika membaca. Dampak yang dapat dirasakan secara langsung mampu menjadi obat yang manjur untuk menyembuhkan rasa malas membaca. Ketika membaca sebuah buku nonfiksi, seseorang akan dapat menikmatinya jika buku tersebut mampu memberikan manfaat langsung dalam hidupnya. Ketika ia membaca buku bergenre fiksi, seseorang akan mampu menyelesaikannya dengan mudah apabila ia bisa menikmati makna yang ditransfer oleh buku tersebut.
Comments
Post a Comment